Diantara
para dokter yang bekerja untuk khalifah Harun Ar-Rasyid terdapat seorang yang
beragama Nasrani. Dokter itu bertanya-tanya, apakah didalam Al-quran dan hadits
Nabi terdapat suatu ajaran yang mengarah pada kedokteran? Sang Khalifah
menjawab dengan membacakan ayat ini:
...
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. (Q.S. Al-A’raf: 31)
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh
tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Sang
khalifah melanjutkan, ”Lambung itu gudang penyakit dan penjagaan itu obat
utama. Berikan pada setiap organ tubuh, hal-hal yang memulihkan.” Dokter itu
menanggapi,” kitab suci dan nabi kalian tidak tertinggal dari yang dimiliki
jalinus di bidang Kedokteran.” Demikianlah pemaparan Abu Hayyan Al-Andalusi dalam
tafsirnya, Al-Bahrul-Muhith.
Pakar tafsir pada sejak muda berguru
kepada ratusan ulama di Eropa, Afrika dan asia itu menyadarkan kita tentang
hubungan puasa dengan peradaban manusia. Pesan yang hendak disampaikan tegas.
Peradaban Islam sama sekali tidak dibangun dengan spirit keserakahan. Peradaban
Islam dibangun degan spirit kemaslahatan. Mengutip keterangan khalifah Harun
Ar-Rasyid, mufasir itu menegaskan pula prinsip ajaran Islam bahwa setiap organ
tubuh berhak atas pemulihan dan penjagaannya. Prinsip itu otomatis terlaksana
jika seseorang menjalakan ibadah puasa.
Beban
syariat atau taklif, termasuk pada puasa Ramadan, tidak untuk memberatkan
manusia sebagai Mukalaf. Hikmah kesehatan didalamnya sudah diterangkan oleh
Khalifah Harun Ar-Rasyid lebih dari 13 abad yang lalu, juga oleh para ahli
kedokteran sampai sekarang. Dari Abu Hurairah R.A, bahwa Rasulullah SAW bersabda
yang artinya:
Berpuasalah kalian maka kalian akan
sehat (HR Thabrani) Athiyyah
Shaqr dalam Fatwa Al-Azhar menyatakan para perawi hadits ini Tsiqah atau dapat
dipercaya.
Apa
maksudnya? Jelas, puasa merupakan kewajiban agama yang tidak melampaui kelayakan
manusiawi penganutnya. Ketentuan-ketentuan agama tentang puasa ditaati sampai
lebih dari empat belas abad lamanya karena memeng tidak pernah dirasa merugikan
manusia sepanjang siklus hidupnya, bahkan memberikan manfaat kesehatan dan
meningkatkan keberartian manusia bagi diri dan lingkungannya.
Ibnu
Sina, Perintis kedokteran modern, menulis banyak buku, antara lain karya
monumentalnya, Kitab Asy-Syifa’ Al-Illahiyat. Tentang manfaat
puasa, beliau mencatat, ”ketiadaan banyak gerak selama orang menjalani puasa,
justru menggerakkan tabiat dengan gerakan yang sangat kuat yang mengingatkan
pelakunya bahwa ia berada dalam semesta yang diciptakan bukan dengan senda
gurau.” Manusia diciptakan dengan misi luhur yang diamanatkan kepadanya. Untuk
memikul amanat itu maka setiap tahun Allah memberikan kesempatan pada manusia
untuk menempa tabiatnya.
Tabiat
yang hendak dibangun melalui puasa adalah tabiat yang taat, yang harmonis
secara biologis, sosial, dan spiritual. Harmoni itu meniscayakan adanya
siklus-siklus yang menjaga keteraturan dan pergantian. Siklus hidup manusia
bertahap-tahap : dari masa kanak-kanak, kemasa remaja, masa dewasa, sampai
masaa tua; dari lemah, menjadi kuat, dan lemah lagi; dari usia tidak produktif,
ke usia produktif, hingga akhirnya kembali ke usia tidak produktif lagi. Siapa
pun yang tidak memahami siklus hidup manusiawi dalam dirinya akan tertinggal
dari kesempatan-kesempatan emas didalamnya.
Siklus
itulah yang menjadi perhatian ulama saat membahas mengenai haid.
Siklus itu bersifat biologis, melekat pada diri perempuan sebagai makhluk
hidup. Oleh karena itu, kita bisa menyimak keterangan para ulama tentang pil
penunda haid juga berkaitan dengan siklus.
Para
ulama didalam Al-Fiqih ‘Ala Madzahibil Arba’ah menjelasan sebagai
berikut.
1. Jika
darah haid itu mengalir diluar siklusnya disebabkan oleh obat-obatan, darah
tersebut tidak dinamakan darah haid. Dalam hal ini, seorang perempuan wajib
berpuasa dan shalat, serta masih berkewajiban untuk meng-qadha’
kewajiban puasanya. Hal ini juga demi kehati-hatian karena adanya kemungkinan
darah yang keluar adalah haid dalam kasus perceraian berarti masa ‘iddah
(masa menunggu setelah cerai) –nya belum habis.
2. Jika
obat-obatan untuk menunda haid dipergunakan sebelum haid atau dalam kondisi
suci (Bersih atau tidak dalam masa haid) puasanya sah dan tidak wajib qadha’.
3. Perempuan
tidak diperbolehkan mencegah atau memajukan keluarnya darah haid dengan
obat-obatan jika dapat membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan itu
hukumnya wajib.
Suatu
hari orang-orang Arab dari pedalaman berkerumun disekitar Rasulullah SAW dan
bertanya tentang masalah berobat. Kemudian menjawab:
Berobatlah
kalian maka sesunguhnya Allah tidak menempatkan penyakit apa pun kecuali
menempatkan pula obat untuk penyakit itu, selain satu penyakit, yaitu pikun.
(HR Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Baihaqi)
Al-Alnani menyatakan hadits ini shahih.
Apakah penggunaan pil penunda haid termasuk berobat yang
diperintahkan oleh agama?
Ternyata
tidak demikian. Di dalam kitab Fatawa Ibnu Ziyad dan di dalam
kitab Fatawa Al-Qimath didapat keterangan boleh menggunakan
obat-obatan penunda haid. Sementara di dalam kitab Qurratul ‘Ain Fi
Fatawa Al-Haramain menerangkan bahwa penggunaan obat-obatan penunda
haid itu makruh (tidak dianjurkan) selama tidak menyebabkan terputusnya
keturunan atau memandulkan. Dan jika menyebabkan terputusnya keturunan maka
hukumnya haram.
Syekh Jadul Haq ‘Ali Jadil Haq, dalam Fatawa Al-Azhar,
menutip pendapat para ulama’ mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa obat-obatan yang menyebabkan
terputusnya keturunan adalah haram. Obat-obatan yang menunda keturunan untuk
sementara waktu tidak haram, asal terdapat alasan yang dibenarkan oleh syariat,
misalnya untuk memberikan kesempatan yang cukup bagi pendidikan anak-anak.
Obat penunda haid memengaruhi siklus biologis perempuan.
Dampaknya pun bisa serius karena bisa memutuskan keturunan. Oleh karena itu,
kita perlu mencermati prinsip-prinsip terpenting dibalik pandangan para ulama
itu.
Imam Syatibi, seorang cemerlang dari Andalusia, menjelaskan di
dalam Al-Muwafaqat Juz 2, tujuan Syariat mencakup lima
kemaslahatan dengan sebutan al-klliyat al-khams. Kelima kemaslahatan itu
adalah:
1. Menjaga
agama (hifzud-din)
2. Menjaga
jiwa (hifzun-nafs)
3. Menjaga
akal (hifzul-aql)
4. Menjaga
keturunan (hifzun-nasl)
5. Menjaga
hata dan properti (hifzul-mal)
Setelah mengetahui
tujuan-tujuan syariat itu, tujuan kemaslahatan manakah yang hendak dicapai oleh
seorang muslimah melalui penggunaan pil penunda haid? Menurut
Imam Syatibi, jawaban itu harus dapat dikembalikan pada salah satu tujuan pokok
syariat diatas. Syukur jika lebih dari satu tujuan dapat dijangkau.
Puasa seorang perempuan muslimah pengguna pil penunda
haid adalah boleh dan sah. Tetapi sebagian ulama menetapkannya makruh.
Adalah bijaksana jika perempuan memutuskan tidak mempergunakannya karena ridha
atas siklus biologis anugerah dari Allah. Itu.
0 komentar:
Posting Komentar